Rabu, 21 April 2010
Jefferson's Days [3]
Aku hanya bisa terdiam di depan Edva. Semua kata-kata yang sudah kusiapkan bila bertemu dengannya kini hilang entah ke mana. Mataku hanya terpaku pada sosok Edva. Dia jauh lebih cantik daripada foto yang pernah dikirimkannya beberapa bulan yang lalu. Rambutnya kini sudah lumayan panjang. Edva emang pernah bilang kalau dia mau memanjangkan rambut. Katanya biar keliatan feminim. Aku membelai pipi Edva dengan lembut.

“Va, aku udah datang. Akhirnya kita bisa bertemu secara nyata ya…. Tapi…..”

Sedetik kemudian tangisku pecah. Nggak seharusnya cowok menangis seperti ini. Aku diajari untuk menahan agar air mataku nggak pernah keluar, tapi kali ini aku udah bener-bener nggak kuat lagi untuk menahannya.

“Edva… Edva…”, panggilku lirih.

Edva membisu. Tak sepatah kata pun keluar dari bibirnya yang mungil. Kedua matanya terpejam. Kedua mata itu nggak akan pernah terbuka lagi untuk selamanya. Edvaku sudah pergi…..

Di kakiku, Frizy mendengking kecil dan meringkuk, seolah ingin mengatakan bahwa ia juga sedih karena kehilangan tuannya. Air mataku kembali menetes.

Om Robert meninggalkan pelayat-pelayat yang lain dan berdiri di sisiku. Dia menatap putri sulungnya itu. Matanya tampak sedikit berkilat karena air mata yang menggenang di sana.

“Anne, Jefferson sudah datang. Kamu lihat kan, sayang?” kata Om Robert parau.

Pria setengah baya itu merapikan anak rambut Edva dengan tangan yang sedikit gemetar.

“Tidak seharusnya orang tua melihat anaknya terbaring dalam peti mati. Semestinya aku yang pergi lebih dulu”, gumam Om Robert.

Kami kembali diam dan menatap lekat pada Edva. Raut wajahnya tampak tenang. Dia seperti sedang tidur nyenyak, sayangnya dia nggak akan pernah bangun lagi selamanya. Aku nggak pernah menyangka kisah kami akan berakhir seperti ini....




Salatiga, 17 Februari 2010, 01.56


Malam semakin larut, tapi mataku masih belum bisa terpejam. Aku mengambil HP dan memutar-mutarkan benda itu di tanganku, kebiasaanku kalau lagi bosan. Dulu, Edva sering meneleponku malam-malam seperti ini kalau dia lagi insomnia atau kalau dia lagi begadang mengerjakan tugas sekolahnya. Aku nggak pernah keberatan dia mau meneleponku jam berapa. Bisa menemani Edva –walau cuma lewat telepon- sudah cukup membuatku bahagia.

Pikiranku kembali melayang ke kenangan-kenanganku saat bersama Edva. Aku dan dia hanya saling mengenal selama empat bulan, tapi kenangan yang dia tinggalkan sudah lebih dari cukup untuk membuatku mengingatnya seumur hidupku.

Saat Edva diperabukan, aku teringat akan sebuah kalimat. Bunyinya “ Bukan perpisahan yang kusesali, tapi pertemuan”. Untukku, kalimat itu sama sekali tidak benar. Aku tidak pernah menyesali bahwa aku bisa mengenal seorang cewek bernama Edvanne Hartono dalam hidupku. Bisa mengenal seorang gadis yang memiliki pola pikir dan gagasan-gagasan tak terduga sepertinya adalah sesuatu yang kusyukuri.

Aku menyalakan laptop dan membuka blog Edva. Rasanya menyakitkan kalau ingat bahwa blog ini ngak akan pernah diupdate lagi. Aku merindukan saat-saat di mana aku membaca postingan terbaru Edva. Kadang aku tertawa, terharu, bahkan marah saat membaca tulisannya karena aku benar-benar terhanyut dalam rangkaian kata yang dibuatnya. Aku ingin merasakan sihir tulisan Edva lagi.

Kemarin, Natalie meneleponku dan mengatakan kalau dia mau mengupload berita tentang kematian Edva di blog ini. Aku spontan melarangnya.

“Kenapa nggak boleh?”
“Karena... aku ingin agar dia tetap “hidup” di blog ini”


Terdengar egois ya? Untungnya Natalie menyetujuinya dan nggak ngomong apa-apa lagi. Mungkin dengan melarang Natalie, itu hanya menunjukkan kalau sebenarnya aku nggak mau melepaskan Edva pergi.

Semua orang harus belajar untuk melepaskan sesuatu, Jeff. Mau nggak mau, siap nggak siap, pasti akan tiba saatnya kita harus melepaskan”
“Terus, gimana caranya biar kita siap, Va?”
“Ngg... Dengan cara kita nggak terlalu mengenggamnya. Jangan pernah berpikir sesuatu adalah milikmu seratus persen. Semua yang kita miliki kan hanya merupakan pemberian dari Tuhan. Kita hanya diberi kepercayaan aja. Kalau udah waktunya diambil, ya diambil. Dia yang memberi, Dia juga yang mengambil. Itu menurutku sih, Jeff”


Sepotong pembicaraanku dengan Edva terputar kembali dalam kepalaku. Edva benar, semua yang dikatakannya tepat. Tapi rasanya aku terlalu erat “mengenggam” Edva. Mungkin dengan berjalannya sang waktu, aku bisa belajar untuk melonggarkan genggaman itu sehingga aku bisa melepaskan dia. Dalam hidup ini, kadang kita harus melepaskan sesuatu. Bagiku, sesuatu itu adalah Edva. Walau begitu, rasa cintaku pada Edva takkan pernah berubah.

Aku menghapus air mata yang nyaris menetes dan mulai membaca postingan terakhir Edva yang belum sempat kubaca.


Melepaskan
13 Februari 2010

Untuk segala sesuatu ada masanya
Untuk apa pun di bawah langit ada waktunya
Ada waktu untuk lahir, ada waktu untuk meninggal
Ada kalanya kita harus belajar tuk melepaskan sesuatu
Ada saatnya kita harus membiarkan pergi
Mungkin terasa berat, tapi itu harus dilalui
Walau hati kan terluka, lepaskanlah
Karna bila kau kukuh menahannya, kau kan terluka lebih dalam
Dan saat kita mampu melepasnya, jangan pernah menoleh ke belakang
Sebab sang waktu tak pernah berjalan mundur
Dan roda kehidupan selalu berputar maju
Melangkahlah ke depan tanpa melupakan yang telah dilepaskan
Percayalah akan satu hal
Semua akan menjadi indah pada waktuNya

Diposkan oleh April's Shine di 20.08






Jeff ♥ Va

Label: ,

posted by Flè @ 12.12   2 comments
Selasa, 06 April 2010
Kamu yang Anjing!
Guru bahasa mandarinku di sekolah adalah seorang perempuan muda yang dipanggil dengan nama Laoshi Vee. Dia salah satu dari sedikit guru yang wajahnya “menyegarkan”. Karena pengaruh pipi bakpaonya, Laoshi Vee keliatan kayak anak kecil yang imut-imut. Karena itu, murid-murid juga santai aja ngadepin dia.

Hari ini, Laoshi Vee kebagian jam ngajar 2 jam terakhir di kelasku, kelas IPA yang terkenal dengan anak-anaknya yang punya kelakuan persis anak IPS -misalnya makan di kelas, cabut, cerewet, dan tindakan kriminal lainnya-. Kebetulan hari ini tuh jadwalnya kelasku ulangan Mandarin. Waktu Laoshi Vee masuk dengan wajah imutnya, seisi kelas langsung ribut sendiri dan nggak denger apa kalau Laoshi Vee lagi ngomong.

"Laoshi, ulangan jam kedua aja ya" "Jangan Laoshi, jam pertama aja, keburu lupa ntar"

Sekelas pada heboh sendiri minta ulangan jam pertama atau kedua. Laoshi Vee cemberut dan ngeliatin anak kelas sampai mereka diem.

"Saya tadi sudah bilang, kalian mau saya jelaskan kosa kata dulu, baru ulangan atau sebaliknya", ulang Laoshi Vee.

Diberi pilihan kayak gitu, sekelas jadi tambah berisik. Pada berantem sendiri. Ada yang teriak minta ulangan sekarang, ada yang minta nanti aja.

"Sekarang wae, Laoshi" Pe teriak dari belakang.

Laoshi yang udah telanjur jengkel karena banyak yang protes langsung ngomong pake bahasa gado-gado, campuran antara indo-mandarin-jawa medok. Logatnya tuh jadi lucu banget. Ketabrak-tabrak nggak jelas gitu. Semua jadi pada diem dan nahan ketawa waktu Laoshi ngamuk-ngamuk pake bahasa gado-gado. Akhirnya, Laoshi ngomong mau ngasi ulangan jam pertama.

"Hoi!! Nimen anjing!!" Kacang teriak-teriak pake bahasa mandarin.

Laoshi yang udah badmood gara-gara kelas ribut banget jadi tambah jengkel gara-gara kacang teriak. Terus dia ngomong ke Kacang pake suara yang kenceng banget.

"YA KAMU ITU YANG ANJING!!!"

Sekelas langsung ngakak gara-gara denger kalimat Laoshi yang campur-campur itu.




-> "anjing" (baca : ancing) = tenang
-> "nimen anjing" = kalian tenang
kalimat Laoshi tadi maksudnya "kamu yang tenang!!!", tapi karena dimasukkin ke kalimat pake bahasa indo jadi terdengar kayak "anjing" dalam arti bahasa Indonesia.
Dasar Laoshi...

Label: ,

posted by Flè @ 14.21   4 comments
Minggu, 04 April 2010
Kue.... Oh..... Kue.....
Beberapa tahun yang lalu, Tuhan berbaik hati dengan memberikan saya “liburan” ke Thailand. Liburan yang saya maksud itu pergi ke Thailand dengan tim choir sekolah untuk mengikuti kompetisi di sana. Sebenernya, saya bisa dibilang “anggota kaget”. Kenapa? Karena sebelumnya saya sama sekali nggak pernah ikut ekstra choir. Berhubung tim kekurangan orang, akhirnya direkrutlah beberapa orang awam dan saya termasuk dari sedikit yang beruntung. Waktu terpilih jadi anggota, yang ngebuat saya seneng sebenernya bukan karena bisa masuk timnya, tapi karena bakal “piknik” ke Thailand dan S’pore dengan biaya yang murah banget. Cuma bayar sekitar 2,5 juta. Kapan lagi ada kesempatan kayak gini? Hahaha

Singkat cerita, saya dan anggota choir lainnya berangkat ke Thailand di bulan Juli 2007. Setelah ikut kompetisi, kami diajak tour. Waktu makan siang, kami diantar ke sebuah restoran yang cukup lux. Begitu masuk, di bagian tengah restoran ada meja panjang yang di atasnya ada banyak roti, kudapan, dan salad yang ngebuat orang jadi ngiler. Beberapa teman ada yang langsung teriak-teriak norak saking lapernya.

“Kue! Gila, laper banget!” “Ambilin kuenya dong” “Kuenya kecil banget” “Kuenya enak!!”

Gerombolan kelaparan ini langsung nyerbu meja dan nguras semua yang ada di situ. Saya cuma ngambil salad yang ada di pinggiran. Bukannya saya nggak suka roti, tapi jadi nggak bisa ngambil roti gara-gara ada gerombolan kelaparan itu. Sial! Padahal tadinya saya udah ngincar black forest yang coklatnya banyak banget.
Dengan agak keki, saya nyari tempat duduk di deket jendela dan makan salad sambil ngeliatin gerombolan tadi makan roti. Mereka ketawa-ketiwi sambil ngomongin rotinya. Nah, saya mulai nyadar ada yang agak aneh di sini. Setiap kali mereka nyebutin kata “kue”, pelayan restorannya tuh kayak mau ketawa tapi ditahan. Beberapa malah bisik-bisik sambil cekikikan. Ada yang pasang tampang jijik juga. Aneh...

Waktu main coursenya keluar, guru pembimbing deketin kita dan ngomong dengan suara yang pelaaaaan banget. Setelah dia selesai ngomong, gerombolan yang tadi teriak-teriak “kue” itu diem dan beberapa mukanya jadi rada merah. Sedangkan saya dan temen-temen langsung ketawa kayak orang gila.

Ternyata, di Thailand, kata “kue” itu punya arti yang beda banget sama “kue” dalam bahasa Indo. Di sana tuh “kue” artinya (maaf) alat kelaminnya cowok!! Nggak tau gimana penulisannya, pokoknya pelafalannya itu sama kayak “kue” dalam bahasa Indo.

Sampai sekarang saya dan anggota choir yang ikut ke Thailand masih suka ketawa kalau inget kejadian dodol di restoran itu. Coba aja dibayangin klo kita yang jadi orang Thailand. Ada anak-anak umur belasan tahun, makannya di restoran elite, begitu masuk langsung teriak “KUE!!”. Mana ngomongnya keras dan sering banget lagi diucapinnya. Awalnya mereka kira kita tuh orang Thailand juga soalnya wajahnya mirip sama orang sana. Untung akhirnya mereka nyadar kalau kita tuh turis. Coba kalau nggak, waduh... bisa hancur image choir sekolah saya gara-gara gerombolan kelaparan itu.

Label:

posted by Flè @ 16.03   2 comments
Antara Queen, Kedokteran, Psikologi, dan Arkeologi
Kalau sekarang orang tanya apa cita-citaku, jawabanku pasti jadi dokter. Tapi kalau mereka nanyain pertanyaan yang sama beberapa tahun yang lalu, aku bakal ngejawab kalau aku mau jadi arkeolog. Reaksi pertama orang-orang yang denger jawabanku biasanya sih diem sama bengong. Sebagian bengong karena cita-citaku tergolong aneh, sebagian lagi gara-gara mereka nggak tau apa itu arkeolog. Oke, buat yang nggak tau, arkeolog tuh sebutan untuk orang yang mempelajari arkeologi. Arkeologi sendiri adalah ilmu yang mempelajari kebudayaan (manusia) masa lalu melalui kajian sistematis atas data bendawi yang ditinggalkan. Kajiannya nto meliputi penemuan,dokumentasi analisis, dan interpretasi artefak (budaya bendawi, misalnya kapak batu atau candi) dan ekofak (benda lingkungan, contohnya batuan dan fosil). Kalau masih nggak ngerti, yaa silahkan tanya sama mbah google nan sakti. Hehe..

Kalau diinget-inget, ternyata keinginan bwat jadi arkeolog udah ada sejak aku masih pake seragam putih-merah dulu. Penyebabnya sih gara-gara dari kecil aku suka baca buku atau dengerin cerita yang mayoritas isinya tentang masa lampau. Waktu masih TK dan blom bisa baca, ortu tercinta selalu bacain cerita-cerita dari Perjanjian Lama yang notabene settingnya di zaman purba. Setelah bisa baca, aku mulai ngebaca smua buku yang aku lihat. Tapi yang paling aku suka ya buku-buku tentang zaman dahulu kala, misalnya cerita rakyat, mitologi, ensiklopedi tentang manusia purba, sampai buku paket sejarah. Karena itu, aku jadi tertarik sama peradaban kuno. Aku selalu ngebayangin gimana rasanya kembali ke masa lampau dan dengan jadi arkeolog aku bisa sedikit kembali ke masa lampau. Saat anak-anak laen yang seumuran pada jawab mau jadi dokter, arsitek, pilot, dan presiden kalau ditanya mau jadi apaan kalau udah besar, aku pasti dengan bangga bakal jawab mau jadi arkeolog. Waktu itu, rasanya bangga banget karena punya jawaban yang beda sendiri. Berasa keren!

Tapi, waktu aku kelas 9, aku mulai mikir kalau aku jadi arkeolog, nanti masa depannya gimana dong? Rasanya jadi arkeolog tuh ngabis-ngabisin duit buat ekspedisi dll. Aku kan masih butuh duit juga. Terus, ada Queen yang masih harus aku perhatiiin. Queen nyaranin buat jadi dokter. Ide bagus sih. Kalau jadi dokter, aku bisa nolong banyak orang. Masa depan kalau jadi dokter juga kayaknya lebih bagus daripada jadi arkeolog. Aku suka biologi dan pengen nyembuhin orang sakit. Masalahnya, butuh waktu lama bwat jadi dokter. Lama banget. Selain itu, aku nggak begitu pede bwat jadi dokter. Di mataku, mereka yang jadi dokter tuh orang-orang yang jenius dan “makan” buku pelajaran tiap hari. Aku juga suka “makan” buku tiap hari, tapi yang aku “makan” itu novel, komik, dan sejenisnya, bukannya buku pelajaran –kecuali paket sejarah-.

Sempet kepikiran juga bwat jadi psikolog. Kan jadi psikolog lumayan menjanjikan. Aku juga suka mempelajari sifat dan kejiwaan orang. Rasanya menantang banget. Cuma waktu ngomong-ngomong sama Queen, dia pernah bilang kalau dia rada nggak suka kalau aku jadi psikolog. Katanya dia sering ngeliat anak psikologi jadi rada aneh gitu. Dia nggak mau nantinya aku juga jadi aneh ==.

Jadi bingung... Aku suka ketiga-tiganya.. Tapi kalau aku nekat jadi arkeolog, brarti aku ngambil paket masa depan yang masih terlalu samar. Karir nggak jelas, penghasilan nggak menjanjikan. Queen jelas nggak ngasi dukungan kalau aku milih paket yang ini. Akunya sendiri juga nggak yakin bakal pilih paket yang ini.

Kalau jadi psikolog, mungkin aku bakal seneng. Soal aneh nggak aneh, itu gampang, bisa diatur. Yang ngebuat aku rada ragu buat buat jadi psikolog itu karena aku nggak akan bisa ngerawat Queen kalau dia sakit lagi. Emang sih, aku bisa biayain pengobatan dia kelak kalau aku jadi psikolog, tapi Queen bilang, dia mau aku yang ngobatin dia. Dengan kata laen, Queen mau aku jadi dokter. Mana nada ngomongnya dia melas banget lagi.. Aku paling nggak bisa nolak kalau Queen udah minta sampai kayak gitu....

Aku nggak keberatan sih jadi dokter. Aku fine2 aja, tapi rada ngerasa nggak pede. Itu aja masalahnya...

Aku harus selalu merhatiin Queen dalam ngambil langkah untuk masa depanku. Kenapa? Karena masa depanku nantinya buat dia juga. Apa yang nggak bisa dia raih, harus bisa aku dapetin. Buat dia dan juga buat aku. Aku berhutang banyak sama Queen dan dia sendiri udah terlanjur berharap banyak sama aku. Queen... nggak seharusnya kamu naruh harapan yang segitu besarnya ke aku... Sejujurnya, itu ngebuat aku jadi rada tertekan. Tapi Queen sangat berarti buat aku dan aku nggak mau ngecewain dia setelah semua yang udah terjadi..

Jadi, aku bakal ngambil kedokteran dan spesialis penyakit dalam. Abis nto, aku bakal ambil program sarjana psikologi. Setelah jadi dokter yang sukses, cita-cita ketigaku buat jadi arkeolog baru bisa mulai dicapai. Aku akan belajar arkeologi dan jadi penemu peradaban kuno yang spektakuler.... Semoga Tuhan ngijinin...

Ntar2.... brarti aku bakal belajar seumur hidup dong kalau gini caranya???
Gubraaaaak

Label:

posted by Flè @ 16.02   0 comments
Sier
Ada satu daerah di kota ini yang sangat menarik perhatian saya. Kita sebut saja nama daerahnya Sier. Kakek dan nenek saya tinggal di Sier. Masa kecil dari ibu saya juga banyak dihabiskan di sini. Sier memiliki banyak hal yang tampak berkilauan di mata saya. Mungkin orang lain tidak melihat Sier sebagaimana saya melihatnyanya. Jadi, inilah Sier dari mata saya.

Sier adalah salah satu daerah yang keberadaannya sudah cukup tua di kota saya. Daerah ini sudah mulai dibangun sejak Belanda masih menjajah Indonesia. Dulu, pemerintah kolonial menyewakan rumah-rumah di Sier. Mayoritas penyewanya adalah imigran Cina yang mencoba untuk mengadu nasib di Indonesia.

Sier bukanlah sebuah daerah elit. Anda tidak akan pernah menemukan rumah dengan pagar tinggi di sini. Di Sier juga tidak ada rumah yang memiliki halaman yang luasnya seperti lapangan basket. Mayoritas rumah di Sier memiliki luas tanah kurang dari 50m2. Sangat kecil bukan? Karena itu, para penyewa memilih untuk membangun rumahnya ke atas. Bila anda datang ke Sier sekarang, anda akan menemukan bahwa semua rumah di sana bertingkat.

Seiring dengan berjalannya waktu, Belanda hengkang dari Indonesia. Walaupun begitu, tidak ada yang mengusik para penyewa di Sier. Sayangnya, beberapa “penyewa” gelap mulai membangun rumah sendiri. Akibatnya penataan Sier mulai acak-acakan. Lengkong-lengkong atau gang tikus –jalan sempit yang biasanya hanya bisa dilalui 1 orang- bertambah banyak dan saluran air mulai menyempit. Jalan-jalan di Sier juga semakin kecil karena “dimakan” penyewa yang membangun rumahnya ke depan.

Karena drainase yang buruk, Sier sering dilanda banjir. Untungnya, karakteristik banjir ini hanya sekedar “numpang lewat”. Jadi, bila hujan turun agak lama, maka jalan di Sier akan terendam air setinggi mata kaki. Tapi tunggu 10 menit dan coba lihat lagi ke luar. Jalan pasti sudah kering.

Saat ini penduduk Sier sudah mendapat sertifikat hak milik atas rumah mereka. Karena itu, mayoritas bangunan di Sier telah direnovasi. Jadi tidak akan ditemukan lagi bangunan bergaya kuno di sini. Yang masih tegak berdiri sebagai bangunan peninggalan dari zaman Belanda yang tidak mengalami perubahan mungkin hanya kamar mandi umum yang sekarang nyaris tak pernah dipakai. Kamar mandi yang masih kokoh berdiri ini menunjukkan kualitas bangunan yang dibangun oleh Belanda. Kata penduduk setempat, bangunan kuno di Sier dirancang menjadi bangunan yang tahan lama. Temboknya saja merupakan tembok beton yang benar-benar kuat sehingga susah untuk memasang paku di tembok.

Banyak orang menganggap Sier merupakan salah satu potret daerah kumuh. Karena banyaknya gang tikus, Sier sering diidentikan dengan daerah tempat preman. Untungnya Sier terletak di daerah yang cukup strategis di kota saya.

Namun di mata saya, Sier adalah suatu kawasan di mana ada sedikit waktu yang terperangkap dari masa lalu. Walaupun arsitektur bangunannya telah banyak berubah, namun masih dapat ditemui kenangan dari masa lalu yang tersimpan dalam beberapa bangunan dan jalan-jalan di Sier. Saya masih bisa merasakan suasana Sier kuno saat berjalan di jalanannya. Ukiran lambang khas Cina di atas beberapa rumah dan tembok Sier yang masih dibiarkan terpasang oleh pemiliknya menguatkan suasana itu. Bila duduk di loteng dan melihat bangunan kamar mandi umum yang masih berdiri angkuh di bawah sana, saya seolah terbawa kembali ke masa lalu, ke masa-masa di mana penyewa Sier mengantri untuk menggunakannya.

Katakanlah semua hanya imajinasi saya, tapi itulah Sier yang saya lihat dari mata saya. Sier yang menyimpan sedikit waktu yang terperangkap dari masa lampau. Sier yang masih meyisakan kenangan...

Label:

posted by Flè @ 15.58   0 comments
Jefferson's Days [2]
Semarang, 14 Februari 2010


Untuk kesekian kalinya aku melirik jam tanganku. Seperempat jam lagi udah jam 11. Edva masih belum datang. Aku meraih HP dan mengetik SMS untuk Edva.

“Va, aku udah nyampe nih. Di dpn toko buku. Miss u”

Kutekan tombol “send” dan memasukkan HP ke dalam saku. Lima menit kemudian, Hpku bergetar, menandakan ada SMS masuk. Semoga aja dari Edva. Tapi ternyata bukan, itu cuma SMS promo dari operator. Dengan sedikit sebal aku memasukkan HP.

Edva sama sekali nggak membalas SMSku dari tadi pagi. Bahkan dia juga nggak mengangkat telepon dariku. Mendadak aku merasa takut kalau mungkin Edva nggak mau ketemu denganku. Apa jangan-jangan emang gitu ya?

“Besok jam 11 jangan lupa ya, Va”
“Iya, tenang aja Jeff. Nggak bakal lupa koq”
“Jangan ngaret juga ya beib”
“Haha, nggak lah Jeff. Aku selalu tepat waku”


Aku menghela nafas panjang saat teringat percakapan via telepon antara aku dan Edva tadi malam. Dia bilang dia bakal datang. Dia bilang dia nggak bakal telat. Aku melirik jam tanganku lagi. 10.57, tiga menit lagi. Aku benar-benar nggak suka menunggu...

Untuk mengusir bosan, aku mengambil asal sebuah buku dari rak display di depan sebuah toko. Tapi aku tetap aja kepikiran sama Edva. Rasanya takut, cemas, gugup, senang, dan berdebar-debar bercampur jadi satu.


Tepat jam 11.....


“Jefferson?”

Kurasakan seseorang menepuk pundakku dari belakang. Dan rasanya... aku familiar dengan suara itu..

“Edva?”

Satu nama terlontar begitu aja dari mulutku. Aku berbalik dan melihat seorang cewek setinggi bahuku. Aku langsung memasang senyum terbaik. Edvaku sudah datang.

“Edva kan?” tanyaku lagi.
“Ngg.... Bukan...” jawabnya.

Aku terhenyak mendengar jawabannya. Apa maksudnya? Dia bukan Edva? Tapi, wajahnya mirip dengan Edva. Suaranya juga sama.

“Aku Natalie, adiknya Edva”, kata cewek itu.
“Oh... Pantas aja kalian mirip banget”
“Kakak itu Jefferson kan?” tanya Natalie.

Aku menjawab pertanyaannya dengan anggukan kecil. Ada yang aneh. Aku melihat ke sekitarku. Dia nggak kelihatan di mana pun.

“Edvanya di mana?” tanyaku pada Natalie.
“Kak Edva, dia lagi di... Yah, pokoknya Kak Jefferson aja yang ke tempat Kak Edva ya?” pinta Natalie.

Aku mengiyakan ajakan Natalie. Untung hari ini guru memberikan free time seharian penuh. Natalie langsung berbalik pergi dan menuju ke pintu keluar. Dengan sedikit bingung aku mengikuti Natalie yang berjalan –lebih tepatnya setengah berlari- di depanku. Kami berhenti di depan sebuah sedan silver. Natalie membuka pintu bagian depan dan bergumam agar aku ikut masuk. Dengan sedikit enggan, aku masuk ke dalam. Seorang pria setengah baya yang duduk di belakang kemudi tersenyum padaku. Tapi senyum itu nggak bisa menutupi keletihan di wajahnya.

“Kamu Jefferson ya? Kenalkan, saya Robert,papanya Edvanne”, katanya seraya mengulurkan tangan.
“Iya Om, saya Jefferson”, kataku sambil menjabat tangan Om Robert.
“Ikut dengan Om sebentar tidak apa-apa ya?”
“Iya Om, hari ini saya bebas”

Om Robert nggak ngoomong apa-apa lagi dan mulai menyetir. Kami bertiga terjebak dalam kesunyian yang nggak enak selama perjalanan. Om Robert hanya menatap jalanan di depannya, berkonsentrasi menyetir. Sedangkan Natalie, dia hanya memejamkan mata dan menyandarkan kepalanya pada pintu mobil. Aku ingn memulai pembicaraan, tapi rasanya waktunya nggak tepat.

Dalam hati sebenarnya aku agak grogi. Baru sekali ini mau kopi darat sama Edva, kenapa malah Papanya sih yang datang? Jadi tambah grogi..
Mobil melambat dan akhirnya berhenti di depan sebuah rumah yang cukup besar. Om Robert mempersilahkanku untuk turun. Natalie mendahului kami masuk ke dalam rumah. Di halaman rumah tampak sejumlah mobil dan sepeda motor. Ternyata Edva berasal dari keluarga yang cukup berada.
Tiba-tiba, seekor anijng kecil menyalak dan berlari ke arah Om Robert. Hmm.... Rasanya aku mengenal anjing ini.

“Frizy”, aku memanggil anjing itu.

Om Robert menoleh ke arahku dengan wajah terkejut. Sementara itu, Frizy sudah menjilat-jilat kakiku. Aku membelai lembut kepala Frizy.

“Jefferson tahu namanya?” tanya Om Robert.
“Iya Om, Edvanne sering cerita di blog”

Pria setengah baya itu mengangguk-angguk dan menggendong Frizy. Dia memandang anjing itu dengan tatapan yang sukar diartikan. Seperti menatap sesuatu yang sangat dirindukan.

“Dia ini anjing kesayangannya Anne”, gumam Om Robert.

Frizy menggeliat dan melepaskan diri dari gendongan Om Robert. Anjing itu menyalak sekali dan masuk ke dalam, seolah mengajakku untuk mengikutinya. Om Robert menghela nafas panjang.

“Ayo masuk, Jeff”, ajaknya.

Label: ,

posted by Flè @ 15.54   0 comments
Mimpi
Waktu kita kecil, pasti sering banget denger pepatah “Gantungkan cita-citamu setinggi langit”. Terus, kenapa sekarang banyak yang protes waktu aku bener-bener nglakuin pepatah itu? Bukannya kalian dulu yang sering bilang kayak gitu?
Awalnya mereka diem aja waktu aku bilang aku mau jadi dokter. Sampai akhirnya, akhir-akhir ini ada om yang bilang sama Mama, “Ndak usah jadi dokter, ketinggian. Kuliahin aja di akutansi atau manajemen kayak si A, si B, si C”. Untung aku punya Mama yang luar biasa. Dia nggak ngedengerin omongan si om ini dan bilang ke aku kalau dia bakal tetep ngijinin aku kuliah kedokteran.

Sekarang logikanya gini deh ya, aku udah susah2 berjuang di kelas IPA biar kelak bisa masuk kedokteran. Dengan masuk IPA, brarti aku harus ngerelain waktu buat hobiku jadi ilang. Jadi anak IPA brarti harus siap sama ulangan yang sering numpuk jadi 1. IPA sama skali nggak santai dan aku harus bener2 memperjuangkan nilai-nilai dan peringkatku. Beda sama kelas X, aku nggak bisa lagi belajar sambil nyambi baca novel. Jadi, tolong JANGAN nyuruh aku kuliah akun atau manajemen! Slaen karena aku dari kecil nggak suka sama yang berhubungan dengan ekonomi, masuk ke jurusan itu cuma bakal matiin potensiku. Aku tau apa potensiku dan yang jelas, itu bukan di ekonomi.

Tanpa kalian ngomong pun, aku udah tau koq kalo kuliah kedokteran tuh keliatan kayak mimpi buat aku. Tapi, bisa nggak sih kalian nggak matiin mimpiku yang udah redup itu? Di dunia ini nggak ada yang nggak mungkin. Aku masih ingat saat kalian kaget waktu liat peringkat ujianku. Itu juga terlihat nggak mungkin kan? Secara di sekolah banyak banget yang jenius... Dari kejadian itu aja, apa kalian nggak belajar buat percaya kalo kelak mungkin aku bisa ngebuat mimpi itu jadi kenyataan?

Kalian bilang, ganti mimpimu dengan sesuatu yang lebih sesuai dengan realita. Hmph... Kalo berdasarkan realita, menurutku itu sama sekali bukan mimpi. Mimpi yang berdasarkan kenyataan hidup itu nggak ada. Bukannya dulu orang juga cuma ketawa waktu ada yang bilang mau terbang ke bulan? Apa terbang ke bulan sesuai dengan fakta yang ada di jaman itu? “Mimpi” yang sesuai dengan realita itu cuma buat orang yang nggak mau maju dalam hidupnya. Menurutku, kalian selama ini cuma berputar –dan terjebak- dalam kehidupan yang itu-itu aja dan stagnan gara-gara kalian nerapin prinsip “mimpi yang sesuai dengan realita”.

Aku nggak mau stagnan kayak kalian. Jadi, tolong berhenti protes dan biarkan aku berusaha buat jadiin mimpi itu jadi kenyataan. Bersama Tuhan, nggak ada yang nggak mungkin... =)

Label:

posted by Flè @ 15.51   0 comments
History Maker
Beberapa waktu yang lalu, aku ngebaca tulisan di blog seseorang tentang kecelakaan yang dialami Nikita Putri dkk. Kecelakaan yang mereka alami emang tragis. Bayangin aja, mobil mereka nabrak pagar tol dan terbang ke rumah pejabat. Trus, ada yang “nyangkut” di balkon rumah gara-gara dia nggak pake sabuk pengaman dan kaca depan mobilnya pecah. Aku sempet nangis juga sih waktu ngebaca cerita tentang mereka. Mereka kan masih muda, tapi harus berakhir tragis kayak gitu...

Abis itu, aku jadi inget kalo temanku juga ada yang kecelakaan mobil tanggal 13 Februari kemarin. Diantara 9 orang yang kecelakaan, ada 1 orang yang meninggal, sisanya luka-luka. Yang membuatku jadi sedikit mikir tuh hal yang membedakan antara mereka sama Nikita dkk. Mereka sama-sama remaja, sama-sama kecelakaan mobil, sama-sama ada yang meninggal, tapi..... banyak orang yang bersimpati dan mendadak “kenal” sama temen-temennya Nikita. Semua pada berlomba-lomba ngeadd FB-nya pacarnya Nikita, cuma buat ngucapin rasa simpati mereka ke Willy yang ditinggal Nikita. Sedangkan temanku yang kecelakaan itu, terlupakan gitu aja.....

Padahal kecelakaan yang mereka alami juga tragis. Jadi malam nto, mereka ber-9 pulang dari Rinjani View. Dalam perjalanan pulang, besi yang fungsinya bwat nyangga mesin tiba-tiba patah. Akibatnya, mobil nggak bisa dikendaliin lagi dan terbalik. Salah 1 penumpang terlempar keluar dan langsung meninggal di tempat. Terus tunangannya sodaraku harus ngerelain matanya jadi cacat gara-gara kecelakaan itu. Ada juga yang dijahit 30 jahitan di kepala. Lalu yang paling ngebuat aku shock, ada yang bilang kalo ada yang dirawat di RSJ. Awalnya aku nggak percaya. Sampai akhirnya sodaraku klarifikasi tentang itu.

“Yang masuk RSJ? Oh! Itu lho, yang dulu pernah maen ke rumahmu!”

Shock..... Aku cuma bisa bilang “Kasian ya...”, tapi sebenernya dalam hati aku sedikit nyalahin ortu dari yang meninggal. Kenapa sih mereka tega nuntut dia gara-gara anak mereka mati? Toh kecelakaan itu bukan salahnya dia. Apa mereka nggak nyadar kalo dia juga udah depresi gara-gara ada teman yang meninggal di depan matanya? Tapi yah... semua udah terjadi.... Aku cuma bisa doain semoga dia bisa cepet keluar dari tempat itu... T_T

Well, balik lagi ke Nikita vs Temanku. Nggak ada pages khusus yang dibuat untuk mengenang temanku kayak yang dibuat khusus bwat Nikita. Teman2ku nggak jadi selebritis dadakan kayak Nikita. Singkatnya, yang satu bakal dikenang oleh banyak orang, sedangkan yang laen bakal cuma dilupain gitu aja. Yah mungkin cuma keluarga dan sahabat mereka aja yang inget.

“Oh, si A yang meninggal pas malam Xincia itu? Kasian...”

Udah.. Paling cuma itu aja komentar mereka. Aku jadi sedih dan kepikiran, “Kira-kira, apa yang bakal dikenang sama orang kalo aku meninggal nanti? Apa mereka bakal terus ingat sama aku? Atau jangan-jangan, mereka malah lupa kalo mereka kenal sama aku?”

Yang aku dapetin dari kecelakaan Nikita dan temanku tuh buanyaaak banget. Salah satunya, kamu harus kamu harus meninggalkan sejarah yang bisa membuatmu diingat terus. Banyak yang jadi tau tentang Nikita dkk karena ada teman2 mereka yang ngebuat banyak hal untuk teman mereka yang udah dipanggil sama Tuhan itu, mulai dari cerpen sampe pages khusus buat mereka. Itu brarti, Nikita dkk udah ngebuat dan ninggalin suatu sejarah yang berkesan di hati teman2nya sampai mereka mau nglakuin banyak hal bwat mengenang Nikita.

Karena itu, aku mulai mikir lagi. Di umurku yang udah 16 taon ini, sejarah apa sih yang udah aku buat? Apa sejarah yang aku buat itu akan membuat orang-orang terus mengenangku dan cerita tentang aku ke anak-cucu-cicit mereka? Apa sejarahku mampu ngubah kehidupan orang laen dan jadi berkat bwat mereka?

Gimana dengan kamu?

Label:

posted by Flè @ 15.50   0 comments
Jefferson's Days
Aku menatap coklat berbentuk beruang yang terletak di atas meja. Coklat yang akan kuberikan untuk dia, pacar cyberku. Tanpa terasa, bibirku menyunggingkan sebuah senyuman.

Semua berawal dari keisenganku membuat akun FB baru. Akun alter ego, begitu aku menyebutnya. Aku sengaja nggak ngeadd orang yang mengenalku di dunia nyata. Akun alter ego hanya untuk mereka yang sama sekali nggak mengenalku.

Lalu aku menemukannya. Dia memakai nama April’s Shine sebagai nama akunnya. Saat melihat profilenya, aku sedikit terkejut dengan jumlah notes yang dia buat. Ada sekitar 188 notes, mayoritas berisi cerita-cerita tentang kehidupannya sehari-hari. Dia benar-benar pintar mengubah apa yang dialaminya menjadi bentuk tulisan. Aku merasa seperti tertarik masuk ke dalam kehidupannya saat membaca tulisannya. Akhirnya, aku tergoda untuk menulis di wallnya.

“Tulisan kamu bagus banget. Kamu penulis ya?”

Ternyata dia juga lagi OL. Malam itu, kami ngobrol via message dan aku semakin tertarik dengan cewek bernama April’s Shine ini. Dia memiliki pikiran-pikiran yang benar-benar di luar dugaanku. Caranya memandang sesuatu sangat berbeda. Cerdas, itu kata-kata yang keluar dalam pikiranku tentang dia.

“Boleh tau nama aslimu?”

Akhirnya aku nekat juga menanyakan nama aslinya. Padahal aku tau orang yang membuat akun alter ego mayoritas tidak mau mengatakan nama aslinya. Kata mereka, itu sama aja dengan membuka identitas asli.

“Ngg.... Buat apa?”
“Mau tau aja. Tapi kalau nggak boleh, gpp koq”


Selang beberapa menit, dia membalas messageku. Dengan sedikit berdebar, aku membuka balasan dari dia. Aneh, cuma membuka message aja aku bisa berdebar-debar kayak gini.

“Boleh2. Namaku Edvanne Hartono ^^. Kalau kamu?”
“Namamu bagus ^^b. Panggilannya apa? Aku Jefferson Budisantosa. Biasa dipanggil Jeff.”
“Hehe. Thx, Jeff. Temen2 pada manggil Anne”
“Oh... boleh nggak, kalo aku panggil Edva aja?”


Waktu itu, aku nggak tau kenapa aku nggak mau kalau aku harus memanggilnya dengan panggilan yang sama dengan yang lain. Aku mau jadi berbeda. Untungnya, dia mengijinkanku memanggilnya dengan nama Edva.



12 Februari 2010


“Edva lagi ngapain?” tanyaku.
“Lagi teleponan sama Jeff”, terdengar suara tawa Edva dari seberang sana.

Aku ikut tergelak mendengar jawabannya. Setelah beberapa bulan berpacaran dengan Edva, aku jadi tau kalau dia cewek yang suka bercanda gaje, tapi kadang dia bisa jadi bijaksana banget.

“Va, tanggal 14 nanti jadi ketemuan kan?”

Kami memang belum pernah bertemu secara langsung. Selama ini aku hanya tau wajah Edva dari foto yang pernah dia kirim. Dia cantik. Rambutnya agak pendek dan kulitnya putih. Kami memang tinggal di kota yang berbeda, dia di Semarang, aku di Salatiga. Kebetulan saat ini sekolahku lagi ngadain semacam study tour ke Semarang. Aku langsung ngajak Edva untuk ketemuan begitu tau destinasinya ke Semarang.

“Va, jadi nggak?” tanyaku lagi.
“Jadi dong. Di CL jam 11 ya”, jawab Edva seraya menyebutkan nama mall di Semarang.
“Mau pake baju warna apa? Apa merah aja? Kan pas Valentine”
“Hehe.. Iya, tapi jangan merah. Ntar susah nyarinya soalnya passti pada pake baju merah juga. Hitam aja gimana?”
“Hitam ya? Boleh juga...” gumamku smabil mengeluarkan kemeja hitam dari dalam koper.
“Oke.. Jeff, aku tidur dulu ya. Besok masih harus sekolah nih”, kata Edva.
“Lho? Emang sekarang udah jama bera... HAH?! Udah jam 2?!” aku setengah berteriak saat ngeliat jam. Untung Aldo, temen sekamarku kalau tidur nggak bangun gara-gara suaraku yang kelewat kenceng.

Edva tertawa renyah mendengarku. Rasanya waktu berjalan lebh cepat kalau ngobrol dengannya.

“Good night, my hunny bear”, kata Edva
“Good night, my hunny bee. Love you”
“Love you too”

Aku memutuskan sambungan telepon dan menghempaskan diri ke atas tempat tidur. Lusa adalah Valentine pertamaku dengan Edva. Lusa aku akan bertemu dengannya, dengan Edvaku. Pasti akan menyenangkan. Kira-kira, gimana ya reaksi Edva saat dia ngeliat aku secara langsung nanti?

Label: ,

posted by Flè @ 15.34   0 comments
 
About Me


Name: Flè
Home:
About Me:
See my complete profile

Previous Post
Archives
Links
Free Blogger Templates