Rabu, 21 April 2010
Jefferson's Days [3]
Aku hanya bisa terdiam di depan Edva. Semua kata-kata yang sudah kusiapkan bila bertemu dengannya kini hilang entah ke mana. Mataku hanya terpaku pada sosok Edva. Dia jauh lebih cantik daripada foto yang pernah dikirimkannya beberapa bulan yang lalu. Rambutnya kini sudah lumayan panjang. Edva emang pernah bilang kalau dia mau memanjangkan rambut. Katanya biar keliatan feminim. Aku membelai pipi Edva dengan lembut.

“Va, aku udah datang. Akhirnya kita bisa bertemu secara nyata ya…. Tapi…..”

Sedetik kemudian tangisku pecah. Nggak seharusnya cowok menangis seperti ini. Aku diajari untuk menahan agar air mataku nggak pernah keluar, tapi kali ini aku udah bener-bener nggak kuat lagi untuk menahannya.

“Edva… Edva…”, panggilku lirih.

Edva membisu. Tak sepatah kata pun keluar dari bibirnya yang mungil. Kedua matanya terpejam. Kedua mata itu nggak akan pernah terbuka lagi untuk selamanya. Edvaku sudah pergi…..

Di kakiku, Frizy mendengking kecil dan meringkuk, seolah ingin mengatakan bahwa ia juga sedih karena kehilangan tuannya. Air mataku kembali menetes.

Om Robert meninggalkan pelayat-pelayat yang lain dan berdiri di sisiku. Dia menatap putri sulungnya itu. Matanya tampak sedikit berkilat karena air mata yang menggenang di sana.

“Anne, Jefferson sudah datang. Kamu lihat kan, sayang?” kata Om Robert parau.

Pria setengah baya itu merapikan anak rambut Edva dengan tangan yang sedikit gemetar.

“Tidak seharusnya orang tua melihat anaknya terbaring dalam peti mati. Semestinya aku yang pergi lebih dulu”, gumam Om Robert.

Kami kembali diam dan menatap lekat pada Edva. Raut wajahnya tampak tenang. Dia seperti sedang tidur nyenyak, sayangnya dia nggak akan pernah bangun lagi selamanya. Aku nggak pernah menyangka kisah kami akan berakhir seperti ini....




Salatiga, 17 Februari 2010, 01.56


Malam semakin larut, tapi mataku masih belum bisa terpejam. Aku mengambil HP dan memutar-mutarkan benda itu di tanganku, kebiasaanku kalau lagi bosan. Dulu, Edva sering meneleponku malam-malam seperti ini kalau dia lagi insomnia atau kalau dia lagi begadang mengerjakan tugas sekolahnya. Aku nggak pernah keberatan dia mau meneleponku jam berapa. Bisa menemani Edva –walau cuma lewat telepon- sudah cukup membuatku bahagia.

Pikiranku kembali melayang ke kenangan-kenanganku saat bersama Edva. Aku dan dia hanya saling mengenal selama empat bulan, tapi kenangan yang dia tinggalkan sudah lebih dari cukup untuk membuatku mengingatnya seumur hidupku.

Saat Edva diperabukan, aku teringat akan sebuah kalimat. Bunyinya “ Bukan perpisahan yang kusesali, tapi pertemuan”. Untukku, kalimat itu sama sekali tidak benar. Aku tidak pernah menyesali bahwa aku bisa mengenal seorang cewek bernama Edvanne Hartono dalam hidupku. Bisa mengenal seorang gadis yang memiliki pola pikir dan gagasan-gagasan tak terduga sepertinya adalah sesuatu yang kusyukuri.

Aku menyalakan laptop dan membuka blog Edva. Rasanya menyakitkan kalau ingat bahwa blog ini ngak akan pernah diupdate lagi. Aku merindukan saat-saat di mana aku membaca postingan terbaru Edva. Kadang aku tertawa, terharu, bahkan marah saat membaca tulisannya karena aku benar-benar terhanyut dalam rangkaian kata yang dibuatnya. Aku ingin merasakan sihir tulisan Edva lagi.

Kemarin, Natalie meneleponku dan mengatakan kalau dia mau mengupload berita tentang kematian Edva di blog ini. Aku spontan melarangnya.

“Kenapa nggak boleh?”
“Karena... aku ingin agar dia tetap “hidup” di blog ini”


Terdengar egois ya? Untungnya Natalie menyetujuinya dan nggak ngomong apa-apa lagi. Mungkin dengan melarang Natalie, itu hanya menunjukkan kalau sebenarnya aku nggak mau melepaskan Edva pergi.

Semua orang harus belajar untuk melepaskan sesuatu, Jeff. Mau nggak mau, siap nggak siap, pasti akan tiba saatnya kita harus melepaskan”
“Terus, gimana caranya biar kita siap, Va?”
“Ngg... Dengan cara kita nggak terlalu mengenggamnya. Jangan pernah berpikir sesuatu adalah milikmu seratus persen. Semua yang kita miliki kan hanya merupakan pemberian dari Tuhan. Kita hanya diberi kepercayaan aja. Kalau udah waktunya diambil, ya diambil. Dia yang memberi, Dia juga yang mengambil. Itu menurutku sih, Jeff”


Sepotong pembicaraanku dengan Edva terputar kembali dalam kepalaku. Edva benar, semua yang dikatakannya tepat. Tapi rasanya aku terlalu erat “mengenggam” Edva. Mungkin dengan berjalannya sang waktu, aku bisa belajar untuk melonggarkan genggaman itu sehingga aku bisa melepaskan dia. Dalam hidup ini, kadang kita harus melepaskan sesuatu. Bagiku, sesuatu itu adalah Edva. Walau begitu, rasa cintaku pada Edva takkan pernah berubah.

Aku menghapus air mata yang nyaris menetes dan mulai membaca postingan terakhir Edva yang belum sempat kubaca.


Melepaskan
13 Februari 2010

Untuk segala sesuatu ada masanya
Untuk apa pun di bawah langit ada waktunya
Ada waktu untuk lahir, ada waktu untuk meninggal
Ada kalanya kita harus belajar tuk melepaskan sesuatu
Ada saatnya kita harus membiarkan pergi
Mungkin terasa berat, tapi itu harus dilalui
Walau hati kan terluka, lepaskanlah
Karna bila kau kukuh menahannya, kau kan terluka lebih dalam
Dan saat kita mampu melepasnya, jangan pernah menoleh ke belakang
Sebab sang waktu tak pernah berjalan mundur
Dan roda kehidupan selalu berputar maju
Melangkahlah ke depan tanpa melupakan yang telah dilepaskan
Percayalah akan satu hal
Semua akan menjadi indah pada waktuNya

Diposkan oleh April's Shine di 20.08






Jeff ♥ Va

Label: ,

posted by Flè @ 12.12  
2 Comments:
Posting Komentar
<< Home
 
 
About Me


Name: Flè
Home:
About Me:
See my complete profile

Previous Post
Archives
Links
Free Blogger Templates